Apa
keinginan di usia 22? Aku tak tahu, aku hanya ingin kembali ke masa
kanak-kanak. Jika itu terjadi aku tak akan pernah bersedih kembali. Ketika kau
tumbuh menjadi dewasa, perlahan senyumanmu akan menghilang. Aku akui itu
benar-benar terjadi di hidupku. Di usia ku yang ke 19-20 tahun aku gagal masuk
perguruan tinggi yang ku inginkan, di usia 21 tahun, tepatnya 1 bulan sebelum
hari kelahiranku, aku kehilangan ibu untuk selama-lamanya. Sekarang di usia ke
22, aku akan kehilangan apa lagi? oh tidak, aku hanya berharap impianku akan
terkabul di usia 22, meskipun tanda-tanda itu belum terjadi. Terkadang aku
merasa hidup tak adil, suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit lalu
tiba-tiba menghempaskanmu begitu saja tanpa adanya peringatan atau sesuatu yang
bisa kau sadari untuk dapat menerima rasa sakit akibat hempasan itu, tapi aku menggelengkan kepala dan menepis rasa
itu jika melihat keadaanku sekarang yang lebih beruntung dari orang lain. Aku tak
ingin mengeluh. Semua masalah yang kuhadapi, aku anggap sebagai kisah hidup
yang suatu hari ingin ku ceritakan pada mereka semua, tapi untuk saat ini aku
menutup rapat semuanya, segala tentang diriku, tentang masalah yang begitu
membuatku tertekan. Biarlah aku menutup semua kisahku dengan kunci kerahasiaan
lalu membangun dinding yang tinggi di hatiku.
Jika akhirnya impianku tak akan
terwujud di usia yang ke 22, aku punya satu harapan dan ku sangat berharap
Tuhan mau mengabulkan doaku yang satu ini. “aku ingin pergi meskipun dengan
rasa kekecewaan yang teramat dalam”. Hanya itu keinginanku saat ini, setidaknya
satu kali aku ingin bersikap egois. izinkan aku untuk bersikap seperti itu,
kumohon. Jika itu tak terkabul untuk saat ini juga tak apa, aku akan sabar
menunggu dan tetap berusaha.
Berbicara hari ulang tahun, aku...aku sering
melupakannya. Bukan tradisi di keluargaku untuk saling merayakan, memberi
ucapan selamat, memberikan kado. Bahkan ayahku sendiri tak tahu usia ku saat
ini berapa, beliau masih beranggapan
usiaku masih 20 tahun. Kakak, adik, sepupu semuanya tak akan ada yang
mengetahuinya kecuali jika mereka melihat ktp atau kartu identitas diriku yang
lain. Bukan hanya aku saja, mereka juga tak ingat dengan ulang tahun mereka.
Terkadang aku iri dengan mereka yang
merayakan ulang tahunnya dengan meriah, dengan balon-balon warna-warni,
dekorasi kartun ala disney yang menghiasi dinding, kado-kado yang begitu banyak
hingga membuat memilikinya tak sabar untuk membukanya.
Aku pernah satu kali merengek pada ibuku
untuk merayakannya tepat di umurku yang 9. ibu tersenyum mengiyakan, akupun tak
sabar menanti hari ulang tahunku yang ke 9. Setiap hari setelah belajar aku
melingkari kalender dengan pena untuk menghitung hari H itu. Hari yang
dinanti-nantikan pun tiba, ketika aku pulang sekolah aku melongok ruang tamu
tak ada kue ulang tahun yang berhias dengan lilin angka 9, tak ada balon yang
berwarna-warni,tak ada hiasan dinding, tak ada apapun. Ku lihat ibu sedang
memasak didapur dan menyuruhku untuk mengirimkan nasi kuning kepada para
tetangga. Aku mengeluh mengatakan pada ibu ini bukan perayaan yang ku inginkan
dan ibu tersenyum mengatakan bahwa hanya ini yang bisa ibu lakukan, perayaan
itu tak penting yang terpenting adalah bagaimana aku menjalani kehidupan dengan
baik, selalu bersyukur dan tak mengeluh dengan keadaan. Aku hanya bisa menunduk
mengiyakan dengan terpaksa. Semenjak itu hampir dapat dipastikan aku tak pernah
merengek pada ibu lagi untuk merayakan ulang tahun dan aku berangsur-angsur
melupakan hari ulang tahunku.
Memori masa kanak-kanak itu, apa aku bisa
memutarnya kembali? Seandainya memori seperti cd/dvd/kaset yang dapat diputar
kembali, aku ingin memutarnya dan melupakan kehidupanku sekarang. Aku hanya
bisa menghela nafas, sebenarnya aku benci kata “seandainya”, tapi semenjak ibu
tak ada aku sering mengumamkan kata itu. aku benci karena kata “seandainya”
hanya memperlihatkan dirimu yang bodoh dan tak bisa menerima kenyataan/pilihan
hidup yang kau jalani.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan